PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 01/PJ/2020

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 01/PJ/2020

TENTANG

PENGGOLONGAN KUALITAS PIUTANG PAJAK DAN TATA CARA PENGHITUNGAN
PENYISIHAN PIUTANG PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan tata cara penghitungan penyisihan Piutang Pajak telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2012 tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2013;
  2. bahwa dengan ketentuan mengenai penggolongan Kualitas Piutang Pajak yang berlaku saat ini, nilai Piutang Pajak di neraca belum mencerminkan nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value), sehingga perlu mengubah ketentuan mengenai penggolongan kualitas piutang beserta tata cara penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Tata Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGGOLONGAN KUALITAS PIUTANG PAJAK DAN TATA CARA PENGHITUNGAN PENYISIHAN PIUTANG PAJAK

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Piutang Pajak adalah piutang yang timbul akibat adanya pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode laporan keuangan.
  2. Kualitas Piutang Pajak adalah hampiran atas ketertagihan Piutang Pajak yang diukur berdasarkan umur atau kondisi Piutang Pajak pada tanggal Laporan Keuangan.
  3. Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari akun Piutang Pajak berdasarkan penggolongan Kualitas Piutang Pajak.
  4. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan Catatan atas Laporan Keuangan.
  5. Tanggal Laporan Keuangan adalah tanggal 30 Juni untuk penyusunan Laporan Keuangan semesteran atau tanggal 31 Desember untuk penyusunan Laporan Keuangan tahunan.
  6. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan jaminan Piutang Pajak.
  7. Barang Sitaan adalah Barang Penanggung Pajak yang dijadikan jaminan Piutang Pajak sesuai dengan hasil penyitaan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak.
  8. Agunan adalah Barang yang diserahkan oleh Wajib Pajak sebagai jaminan dalam rangka permohonan angsuran atau penundaan pembayaran Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
  9. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  10. Daluwarsa Penetapan adalah daluwarsa penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak.
  11. Penelitian Administrasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Jurusita Pajak dalam rangka penghapusan Piutang Pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa, atau dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  12. Penelitian Setempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Jurusita Pajak dalam rangka penghapusan Piutang Pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena Wajib Pajak orang pribadi dan/atau Penanggung Pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak orang pribadi dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan, atau Wajib Pajak Badan bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan.
  13. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual Barang yang telah disita.

Pasal 2

(1)   Untuk tujuan penyusunan Laporan Keuangan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penilaian atas Kualitas Piutang Pajak berdasarkan kondisi Piutang Pajak pada Tanggal Laporan Keuangan untuk membentuk Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.

(2)   Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar hasil penagihan Piutang Pajak yang telah disisihkan senantiasa dapat direalisasikan.

(3)   Penagihan Pajak tetap dapat dilakukan atas Piutang Pajak yang telah disisihkan sepanjang hak penagihannya belum daluwarsa.


Pasal 3

(1)   Kualitas Piutang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, dan pajak lainnya digolongkan menjadi kualitas lancar, kualitas kurang lancar, kualitas diragukan, dan kualitas macet berdasarkan umur atau kondisi Piutang Pajak pada tanggal Laporan Keuangan.

(2)   Piutang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, dan pajak lainnya digolongkan dalam:

  1. kualitas lancar, apabila mempunyai umur Piutang Pajak sampai dengan 4 (empat) bulan;
  2. kualitas kurang lancar, apabila mempunyai umur Piutang Pajak lebih dari 4 (empat) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun;
  3. kualitas diragukan, apabila mempunyai umur Piutang Pajak lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; dan
  4. kualitas macet apabila:

1)  mempunyai umur Piutang Pajak lebih dari 3 (tiga) tahun;
2)  hak penagihannya telah daluwarsa;
3)  hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan telah dibuat laporan hasil penelitian administrasi atau laporan hasil penelitian setempat yang menyimpulkan bahwa piutang pajak tersebut memenuhi syarat untuk diusulkan untuk dihapuskan; atau

4)  ketetapan pajak sebagai dasar timbulnya Piutang Pajak diterbitkan melewati daluwarsa penetapan.


Pasal 4

(1)   Kualitas Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Sektor Lainnya digolongkan menjadi kualitas lancar, kualitas kurang lancar, kualitas diragukan, dan kualitas macet berdasarkan umur atau kondisi Piutang Pajak pada tanggal Laporan Keuangan.

(2)   Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Sektor Lainnya digolongkan dalam:

  1. kualitas lancar, apabila mempunyai umur Piutang Pajak sampai dengan 6 (enam) bulan;
  2. kualitas kurang lancar, apabila mempunyai umur Piutang Pajak lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun;
  3. kualitas diragukan, apabila mempunyai umur Piutang Pajak lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; dan
  4. kualitas macet apabila:

1)  mempunyai umur Piutang Pajak lebih dari 3 (tiga) tahun;
2)  hak penagihannya telah daluwarsa,
3)  hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan telah dibuat laporan hasil penelitian administrasi atau laporan hasil penelitian setempat yang menyimpulkan bahwa piutang pajak tersebut memenuhi syarat untuk diusulkan untuk dihapuskan; atau

4)  ketetapan pajak sebagai dasar timbulnya Piutang Pajak diterbitkan melewati daluwarsa penetapan.


Pasal 5

Dalam hal suatu Piutang Pajak memenuhi lebih dari 1 (satu) kriteria penggolongan kualitas Piutang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau Pasal 4, Piutang Pajak tersebut digolongkan ke dalam salah satu kualitas Piutang Pajak dengan mendahulukan urutan macet, diragukan, kurang lancar, atau lancar.


Pasal 6

(1)   Dalam hal suatu Piutang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Sektor Lainnya berdasarkan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STP PBB), Bea Meterai, dan pajak lainnya memenuhi kriteria penggolongan kualitas Piutang Pajak kurang lancar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, atas Piutang Pajak tersebut harus dilakukan Penagihan Pajak sekurangkurangnya berupa penerbitan Surat Teguran atau Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.

(2)   Dalam hal suatu Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Sektor Lainnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SKP PBB) memenuhi kriteria penggolongan kualitas Piutang Pajak kurang lancar, atas Piutang Pajak tersebut harus segera dilakukan Penagihan Pajak dengan terlebih dahulu diterbitkan STP PBB.


Pasal 7

Umur Piutang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dihitung dari tanggal pengakuan Piutang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 8

(1)   Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih ditetapkan sebesar:

  1. 5‰ (lima permil) dari Piutang Pajak dengan kualitas lancar;
  2. 10% (sepuluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan;
  3. 50% (lima puluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan; dan
  4. 100% (seratus persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan.

(2)   Nilai Agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:

  1. 100% (seratus persen) dari Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas, dan/atau logam mulia;
  2. 80% (delapan puluh persen) dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik (SHM) dan/atau hak guna bangunan (SHGB) berikut bangunan di atasnya;
  3. 60% (enam puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), dan/atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
  4. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) dan/atau bukti kepemilikan nonsertifikat lainnya yang dilampiri SPPT terakhir;
  5. 50% (lima puluh persen) dari nilai hipotik atas pesawat udara dan/atau kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20m3 (dua puluh meter kubik);
  6. 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor; dan/atau
  7. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan/atau kendaraan bermotor yang tidak diikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan disertai bukti kepemilikan.

(3)   Nilai Barang Sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:

  1. 100% (seratus persen) dari Barang Sitaan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas, dan/atau logam mulia;
  2. 60% (enam puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), dan/atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya;
  3. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan nonsertifikat lainnya yang dilampiri SPPT terakhir; dan/atau
  4. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan/atau kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan.

(4)   Dalam hal nilai Agunan atau Barang Sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) lebih besar dari nilai Piutang Pajak, maka nilai Agunan atau Barang Sitaan yang dapat diperhitungkan sebesar saldo Piutang Pajak.

(5)   Agunan selain yang dimaksud pada ayat (2) dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

(6)   Barang Sitaan selain yang dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.

(7)   Dalam hal Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas macet karena hak penagihannya telah daluwarsa atau ketetapan pajak sebagai dasar timbulnya Piutang Pajak diterbitkan melewati daluwarsa penetapan, Agunan atau Barang Sitaan tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih atas Piutang Pajak tersebut.


Pasal 9

(1)   Nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c dan huruf d serta ayat (3) huruf b dan huruf c bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

(2)   Nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. nilai yang dikeluarkan oleh Penilai Pajak Direktorat Jenderal Pajak;
  2. nilai yang dikeluarkan oleh Penilai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
  3. nilai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah;
  4. nilai yang dikeluarkan oleh Kantor Jasa Penilai Publik;
  5. nilai sesuai kewenangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam Surat Penentuan Harga Limit; atau
  6. nilai yang dikeluarkan oleh instansi berwenang lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3)   Untuk memperoleh nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat membuat surat permintaan nilai jual objek pajak ke Pemerintah Daerah yang bersangkutan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(4)   Dalam hal nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c dan huruf d serta ayat

(3)   huruf b dan huruf c tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.


Pasal 10

(1)   Nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf g dan ayat (3) huruf d bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

(2)   Nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang dapat diperoleh dari Badan Pajak dan Retribusi Daerah Pemerintah Provinsi;
  2. nilai yang dikeluarkan oleh Penilai Pajak Direktorat Jenderal Pajak;
  3. nilai yang dikeluarkan oleh Penilai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
  4. nilai yang dikeluarkan oleh Kantor Jasa Penilai Publik;
  5. nilai sesuai kewenangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam Surat Penentuan Harga Limit; atau
  6. nilai yang dikeluarkan oleh instansi berwenang lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3)   Dalam hal nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, Agunan atau Barang Sitaan tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.


Pasal 11

(1)   Nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) dikurangkan dari masing-masing dasar Penagihan Pajak secara proporsional.

(2)   Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) disajikan per jenis pajak.


Pasal 12

Cara penghitungan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 13

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2012 tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2012 tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2012 tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak; dan
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2012 tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 14

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku untuk penyusunan Laporan Keuangan Tahunan Tahun Anggaran 2019.

.

.

.

.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 2020
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


ttd.


SURYO UTOMO

Direktorat Jendral Pajak bkpm

Related Articles