Pengampunan Pajak

Oleh TODUNG MULYA LUBIS

Wacana pengampunan pajak yang banyak diperbincangkan oleh dunia usaha sudah menghasilkan sebuah rancangan undang-undang, yaitu Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak. RUU ini belum diajukan ke DPR, tetapi menurut kabar burung, RUU ini akan segara diajukan ke DPR dalam waktu dekat, mungkin sebelum tahun ini berakhir

Sejak awal, saya mempunyai reservasi mengenai gagasan pengampunan pajak karena saya khawatir bahwa tujuan pengampunan pajak itu tidak berhasil. Pengampunan pajak hanya akan memberikan keuntungan yang tak seharusnya dinikmati oleh mereka yang seharusnya membayar pajak terutang. Apalagi, kita semua tahu bahwa pengusaha atau hampir semua wajib pajak selalu memperbesar pengeluaran dan belanja untuk memperkecil kewajiban pajak terutang.

Lebih jauh, para konsultan pajak bisa member nasihat yang memungkinkan untuk meminimalkan kewajiban pajak terutang. Semua ini masih dalam kerangka peraturan perundang-undangan. It is legal. Semua peraturan perundang-undangan tentang pajak di manapun di dunia ini memiliki loopholes atau celah-celah hukum dan loopholes inilah yang sering dimanfaatkan oleh pengusaha dan wajib pajak lain untuk mengurangi kewajiban pajak terutang.

Khusus untuk Indonesia, kecenderungan mengurangi jumlah kewajiban pajak terutang sebagian juga dipicu oleh ketidakpercayaan terhadap institusi dan aparat pajak yang ditenggarai tak menggunakan uang pajak sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat pembayar pajak. Sebagian uang pajak itu penguap. Jadi, untuk apa jujur membayar pajak?

Kongkalikong wajib pajak dengan instansi dan aparat pajak ditopang oleh kewajiban pajak melakukan self-assesment (menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutang) dan atas dasar itu pajak terutang dihitung. Pemerintah bersasumsi bahwa semua wajib pajak adalah orang atau pengusaha yang jujur. Pengusaha dan wajib pajak berpegangan pada dalil bahwa sepanjang itu diperbolehkan, mengapa harus membayar pajak dalam jumlah besar?

Kalau bisa diminimalkan jumlah kewajiban pajak terutang, mengapa harus dimaksimalkan? Sikap hakiki dari pengusaha dan wajib pajak adalah mencari semua keringanan pajak. Bagi yang terlalu berani mengambil resiko, mereka melakukan tax avoidance (penghindaran pajak dengan memakai cara-cara legal) dan tax evasion (penghindaran pajak dengan memakai cara-cara illegal).

Banyak kewajiban

Ada hal lain yang membuat pengusaha tak begitu gembira membayar pajak, yaitu banyak kewajiban pengusaha membayar semacam pajak, tetapi bukan pajak. Kewajiban itu, misalnya, berupa biaya keamanan, baik itu kepada aparat keamanan maupun preman, suap dan upeti dalam pengurusan surat izin usaha, biaya hubungan baik dengan pejabat atau keluarganya, bunga bank serta biaya-biaya lain yang sering tak terhindarkan. Ketika ada pilkada atau pemilu, pengusaha akan menjadi donatur utama. Ada lagi biaya lain, tergantung kondisi dan situasi. Jadi, kalau semua dihitung, para pengusaha akan merasa Indonesia adalah tempat berbisnis biaya tinggi (high cost economy).

Dalam kondisi seperti ini, gagasan pengampunan pajak sudah barang tentu akan disambut gembira oleh semua pengusaha dan wajib pajak karena akan meringankan. Namun, pertanyaannya adalah apa sesungguhnya tujuan utama pengampunan pajak ini? Mungkin ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, tetapi salah satu tujuan utamanya adalah menarik kembali uang Indonesia yang parkir di luar negeri, uang yang kebanyakan sudah diinvestasikan dalam berbagai bentuk, atau uang yang sudah dicuci dalam berbagai proyek.

Apakah uang-uang tersebut akan kembali karena ada pengampunan pajak? Terus terang saya tak sepenuhnya yakin bahwa pengampunan pajak akan mendorong para pengusaha membawa uang mereka kembali ke Indonesia. Buat para pengusaha, money doesn’t smell. Uang juga tak mengenal kewarganegaraan, money does not have nationality. Jadi, uang itu tak terpengaruh oleh pengampunan pajak. Uang itu akan datang jika ada peluang (opportunity) bisnis yang memberikan keuntungan (profit). Untuk itu, diperlukan berbagai kemudahan, seperti kemudahan dalam hal perizinan, kepemilikan tanah dan bangunan, tenaga kerja yang relative murah, sumber daya alam, kepastian hukum, dan stabilitas politik serta keamanan. Kalau semua ini ada, modal akan datang karena dalam penanaman modal, asing dan domestik, yang paling penting adalah iklim bisnis yang kondusif.

Badan hukum asing

Adalah penting untuk bersikap realistis bahwa uang yang akan dibawa masuk itu sangat mungkin memakai kendaraan bisnis asing, apakah badan hukum Singapura, Malaysia, Hongkong, Tiongkok atau negara lain. Atau juga dari Cayman Island dan British Virgin Island. Sekarang saja mereka sudah masuk melalui berbagai badan hukum asing. Jadi, praktis uang Indonesia sudah ada yang kembali, tetapi tak bisa lagi diidentifikasi sebagai uang milik orang atau pengusaha Indonesia. Dan kedepan, tampaknya kecenderungan ini tak akan berubah.

Yang penting disadarai adalah bahwa kita bersaing dengan negara lain dalam menggaet penanaman modal, Vietnam, Myanmar, Filipina, Thailand, dan yang lain sedang menawarkan iklim bisnis yang lebih kondusif dan modal akan datang ke negara dengan iklim bisnis yang lebih kondusif. Persaingan kita bukan lagi sektoral, persaingan kita sudah bersifat regional dan internasional. Di sini, pengalaman saya sebagai konsultan hukum bisnis meyakinkan saya bahwa pengampunan pajak bukanlah obat mujarab yang akan serta-merta menarik minat pengusaha datang berinvestasi. Perlu lebih dari sekadar pengampunan pajak.

Saya menyadari bahwa pemerintah ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen seperti yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo. Saya mengapresiasi itu. Namun, kita mesti melihat investasi dalam kacamata yang holistic. Pengampunan pajak hanya satu bagian kecil. Kita perlu kebijakan menyeluruh yang menjamin investment sustainability.

TODUNG MULYA LUBIS

Senior Partner Lubis Santosa &

Maramis Law Firm

Sumber : Kompas, Jumat, 27 November 2015

( 27 November 2015)

Direktorat Jendral Pajak bkpm

Related Articles