Pengurangan Beban Pajak

Apakah beban pajak dapat dikurangi dengan tidak melanggar Undang-undang perpajakan yang berlaku ?

Pendahuluan

Setiap kegiatan profit oriented maupun non profit oriented ( nir laba ) tidak dapat dipungkiri senantiasa membutuhkan dana, berupa modal kerja untuk membelanjai kegiatannya.

Dana yang digunakan untuk pembelanjaan perusahaan ( operating atau revenue expenditure ) dan investasi ( capital expenditure ) secara konsepsional tidak ada perbedaan, karena keduanya dimaksudkan untuk menghasilkan income.

Disisi lain, terutama kegiatan yang profit oriented tidak dapat menghindarkan dari suatu kewajiban pasti kenegaraan yaitu membayar pajak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

Pajak adalah pungutan oleh negara yang berakibat arus dana keluar ( cash outflows ) dalam arti akan mengurangi hak pemilik perusahaan.

Pajak merupakan transfer of resources yang mengurangi spending power atau purchasing power perusahaan.

Ditinjau dari pandangan entity theory, pajak dianggap sebagai bagian yang merupakan hak dari negara. Sebaliknya, konsep proprietory menganggap semua kekayaan dan kewajiban perusahaan adalah hak dan kewajiban pemilik.

Menurut faham ini semua pengeluaran yang mengurangi hak dari pemilik perusahaan dianggap sebagai beban, tidak terkecuali pajak.

Dilingkungan dunia usaha timbulnya pemikiran mengurangi pajak karena menganggap pajak tidak berbeda dengan beban usaha lain yang berdampak terhadap modal kerja.

Prinsip efisiensi yang diterapkan dalam badan usaha untuk mengurangi segala macam biaya juga diterapkan untuk pajak.

Permasalahannya adalah “ Apakah beban pajak dapat dikurangi dengan tidak melanggar Undang- undang perpajakan yang berlaku “ ?

Pada dasarnya pajak tidak dapat dikurangi apabila telah terutang, kecuali dalam Undang-undang terdapat ketentuan yang memungkinkan.

Pengaruh kehadiran pajak didalam modal kerja akan dapat dikurangi apabila Wajib Pajak melakukan perencanaan pajak ( tax planning ) sebelum timbul utang, yang dalam hal ini melalui penghematan cash outflows untuk kewajiban perpajakan. .

Apa yang dimaksud dengan tax planning Susan M. Lyons ( 1996:303 ) memberikan definisi sebagai “ suatu perencanaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak baik perorangan maupun badan yang bertujuan meminimalkan utang pajak “ yang tentunya masih dalam bingkai peraturan perpajakan ( lawfull ).

Cara mengurangi beban pajak

Bagaimana cara mengurangi beban pajak yang masih dalam bingkai peraturan perpajakan ( lawfull ) antara lain tergambar dari beberapa contoh berikut:

  1. Membagi perusahaan menjadi beberapa perusahaan atau menggabungkannya.

Misalnya PT Ayu yang memproduksi tiga jenis barang X, Y, Z pada tahun 2015 diprediksi mempunyai peredaran usaha senilai Rp.12 milyar

Jika taksiran penghasilan kena pajak yang diperoleh dari masing-masing barang diketahui senilai Rp.400 juta maka PPh terutang dari PT Ayu adalah sebesar Rp.240 juta yang diperoleh dari hasil perhitungan :

Yang mendapat fasilitas :

4,8 milyar /12 milyar x 1,2 milyar x 50% x25% = Rp. 60.000.000

Tidak mendapat fasilitas :

1,2 milyar –( 4,8 milyar / 12 milyar x 1,2 milyar )x 25%= Rp.180.000.000

Apabila PT Ayu tahun 2015 dipecah 3 ( tiga ) berdasarkan produk yang dihasilkan menjadi PT Ayu-A dan PT Ayu-B serta PT Ayu-C, dengan asumsi peredaran usaha masing masing Rp.4 milyar maka PPh terutang berdasarkan Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 dari masing-masing perusahaan adalah sebesar Rp.40.000.000. ( 1% x Rp.4 milyar ).

Tidak dapat diingkari bahwa dengan dilakukannya pemecahan PT Ayu menjadi 3 ( tiga ) telah terjadi efisiensi pembayaran pajak sejumlah Rp.120.000.000.(( Rp.180 juta-(3x Rp.40 juta ))

Disisi lain dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No. 197 /PMK 03/2013 yang mengakibatkan PT Ayu-A dan PT Ayu-B serta PT Ayu-C tidak wajib memungut PPN karena termasuk Pengusaha kecil maka dana yang sebelumnya harus tersedia sebesar 10% dari peredaran usaha tidak perlu disediakan lagi.

Bagaimana halnya jika terdapat satu atau lebih produknya menderita rugi

Perusahaan yang produknya menderita rugi disarankan untuk digabung dengan untuk menjadi satu dengan perusahaan yang perolehan labanya besar agar PPh perusahaan laba besar dapat dihemat.

Penghematan model ini juga dapat dilakukan jika perusahaan misalnya mempunyai program pendirian perusahaan baru yang akan memproduksi beberapa jenis barang.

  1. Pengurangan penghasilan kena pajak melalui percepatan pelaksanaan program

Misalnya PT Ayu pada tahun 2014 diketahui mempunyai peredaran usaha senilai Rp.12 milyar Jika taksiran penghasilan kena pajak yang akan diperoleh diketahui senilai Rp.1,2 milyar maka PPh terutang dari PT Ayu adalah sebesar Rp.240 juta.

Apabila pada awal tahun 2015 perusahaan mempunyai program peningkatan SDM yang diperkirakan memerlukan dana sejumlah Rp.300 juta, tindakan apa yang harus dilakukan agar PPh tahun 2014 terutang dapat dihemat.

Adalah bijaksana jika rencana pengembangan SDM tidak dilakukan pada awal tahun berikutnya tetapi dilaksanakan misalnya diakhir tahun 2014.

Jika hal ini dilakukan maka penghasilan kena pajak tahun 2014 akan menjadi Rp.900 juta. PPh terutang yang ditimbulkannya adalah sebesar Rp.180 juta yang diperoleh dari hasil perhitungan :

Yang dapat fasilitas 4,8/12 x 0,9 milyar x 12,5% = Rp. 45.000.000

Tidak dapat fasilitas 0,9 milyar -0,36 milyar x 25%= Rp 135.000.000

Dengan adanya penghematan sejumlah Rp.60 juta sebenarnya perusahaan hanya mengeluarkan dana untuk pengembangan SDM sebesar 80% dari total biaya yang diperkirakan.

Penghematan model ini juga dapat dilakukan jika perusahaan misalnya mempunyai program penelitian dan pengembangan yang direncanakan tahun berikutnya.

3 Pemilihan bentuk usaha

Dilihat dari segi perpajakan bentuk usaha perseroan terbatas ( PT ) merupakan Wajib Pajak Badan yang lebih menguntungkan dibandingkan firma karena apabila PT menerima deviden dari penyertaan modal 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia tidak akan dikenakan PPh sebagaimana ditentukan pada pasal 4 atau (3) huruf f Undang-undang PPh.

  1. Pemilihan metode penilaian persediaan

Dalam pengelolaan persediaan, terutama dalam memilih metode penilaian persediaan, aspek pajak tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam kondisi perekonomian dengan tingkat inflasi yang cenderung tinggi, penggunaan metode FIFO kurang menguntungkan dari segi perpajakan karena akan menghasilkan laba bersih lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan metode lain yang yang diperkenankan U.U.PPh yaitu Avarage.

Kesimpulan ;

Berdasarkan beberapa contoh yang diuraikan ternyata beban pajak dapat dikurangi dengan tidak melanggar Undang-undang perpajakan yang berlaku sepanjang Wajib Pajak melakukan perencanaan pajak ( tax planning ) sebelum timbul utang.

Bahan bacaan :

  1. Susan M. Lyons (Editor) ; International Tax Glossary, 2nd edition :

The International Bureau of Fiscal Dokumentation, Amsterdam, 1992.

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
  3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009
  4. Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013
  5. Peraturan Menteri Keuangan No. 197 /PMK 03/2013

Oleh :

Drs.Basri Musri.S.Ak,CA.,MM

Pengajar Perpajakan pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ( STAN ) Program PPAk & Magister Akuntansi Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti serta aktif di IAI Kompartemen Akuntan Pajak

PAJAK ATAS SEWA RUMAH KOS HAK DITJEN PAJAK ATAU DISPENDA ?

Dengan munculnya pengertian Hotel termasuk rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 U.U.RI Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010 tidak dapat dipungkiri bahwa orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran ( Subjek Pajak ) kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel / rumah kos ( Wajib Pajak ) akan dibebani Pajak Hotel.

Dipihak lain apabila kita cermati ketentuan Pasal 4 ayat ( 1 ) huruf i dan Pasal 4 ayat ( 2 ) huruf d U.U.No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas U.U.No.7 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa sewa yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak, misalnya sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang termasuk objek pajak yang dapat dikenai pajak bersifat final, memberikan makna bahwa setiap Pemilik harta tak gerak ( rumah kos ) tersebut berkewajiban menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat ( 2 ) sebesar 10%.

Konsekwensi yang terjadi dengan dikenakannya pajak ganda atas objek yang sama yaitu penghasilan sewa membuat pemilik rumah kos harus menyetor pajak kepada dua instansi yaitu DitJen Pajak sebesar 10% dan Dispenda 10%

Siapa sebenarnya yang berhak memungut pajak atas penghasilan rumah kos, tidak ada salahnya jika kita menelusuri kebelakang sejarah pengenaan pajak atas sewa rumah kos.

Berdasarkan Pasal 2b ayat ( 1 ) dan Pasal 2d Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 sebagaiman terakhir dirubah dan ditambah dengan U.U.No.9 Tahun 1970 dinyatakan hasil dari barang tak gerak yang tidak digunakan dalam perusahaan atau pekerjaan seperti menyewakan suatu barang tak gerak termasuk objek Pajak Pendapatan yang pengelolannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Ketentuan ini tidak saja berlaku sampai tahun 1983 tetapi tetap berkelanjutan meskipun adanya U.U.No. 7 Tahun 1983 tentang PPh

Yang menjadi Objek Pajak PPh sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat ( 1 ) U.U.No.7 tahun 1983 adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak , baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun , termasuk didalamnya;

  1. sewa dari harta;

Dalam U.U.No.36 tahun 2008 pasal 4 ayat ( 1 ) huruf i disempurnakan menjadi “ sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta “

Sementara pengertian Hotel termasuk rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh, tidak diketemukan dalam Pasal 2 ayat ( 2 ) huruf a U.U.No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maupun U.U.No.34 Tahun 2000 tentang perubahan U.U.No.18 Tahun 1997’

Pengertian Hotel dalam penjelasan pasal 2 ayat ( 2 ) huruf a U.U.No. 18 Tahun 1997 adalah “ bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap / istirahat, memperoleh pelayanan , dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama , kecuali untuk pertokoan dan perkantoran

Apa kata masyarakat pemilik rumah kos apabila suatu ketika memperoleh Surat Tagihan Pajak secara bersamaan yaitu dari Kantor Pelayanan Pajak atas nama Pasal 4 ayat ( 2 ) U.U.No.36 tahun 2008 dan dari Dinas Pendapatan daerah atas nama pasal 32 U.U.No.28 tahun 2009 . Objek yang sama dikenakan pajak ganda meskipun subjek ( penanggung pajak berbeda ).

Dikhawatirkan karena pemilik rumah kos tidak mampu membedakan antara pajak objektif ( Pajak Hotel ) yang pada hakekatnya akan dapat dilimpahkan kepada yang menikmati rumah kos dan pajak subjektif ( PPh ) yang harus dipikul sendiri, beban ganda sebesar 20% tersebut akan dilimpahkan kepada yang menikmati rumah kos.

Sebelum kasus ini menjadi benang kusut seyogianya Direktorat Jenderal Pajak dan Pemerintah Daerah seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bandung duduk bersama mencari penyelesaian .

Direktorat Jendral Pajak bkpm

Related Articles