MENGEMPLANGLAH, MAKA KUAMPUNI!

Kontroversi baru kembali dipantik. Setelah mengaduk-aduk sentiment publik dengan menyodorkan rencana revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan antusias berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional. Terlepas dari pro-kontra yang mengelilingi, ketergesaan pengajuan RUU ini mengandung curiga.

Pengampunan pajak bukanlah hal baru. Setidaknya sudah 40 negara memberlakukannya. Indonesia pernah melakukannya pada era Soekarno melalui Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 dan era Soeharto dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Setelah itu, pemerintah memberikan pengampunan terbatas (sunset policy) melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan penghapusan sanksi administrasi (reinventing policy) dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 91/PMK.03/2015.

Secara umum, pengampunan pajak bertujuan: pertama, meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek. Kedua, menambah jumlah wajib pajak. Ketiga, mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perekonomian. Keempat, memanfaatkan dana yang tak terpakai. Dan, Kelima, sebagai langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi lebih besar. Tapi, bagi sebagian pihak, pengampunan pajak memiliki kelemahan, yakni (i) menurunkan persepsi tentang fairness, (ii) menggambarkan ketidakseriusan terhadap pengemplangan pajak, dan (iii) menunjukkan lemahnya administrasi pajak.

Menimbang Model Ideal

Kurun 2009-2014, target penerimaan pajak kita tak pernah tercapai. Bahkan, hingga 30 September 2015, Direktorat Jenderal Pajak baru bisa mengumpulkan 53 persen dari target Rp 1.294 triliun.

Analisis terhadap RUU Pengampunan Nasional dan simpang-siur sikap pemerintah menunjukkan ide ini belum akan menjawab persoalan. Setidaknya ada lima persoalan mendasar :

1.       Ide “rekonsiliasi nasional” jelas sebuah eufemisme untuk membungkus praktek penghindaran dan deklarasi bahwa pengemplangan pajak adalah sebagai hal lumrah.

2.       Cakupan pengampunan yang bukan hanya pidana pajak, melainkan semua jenis pidana kecuali narkotik, terorisme, dan perdagangan manusia. Ini jelas preseden buruk bagi upaya penegakan hukum, khususnya memerangi korupsi.

3.       Tarif tebusan yang sangat rendah berkisar 3,4, dan 8 persen bahkan akan diturunkan menjadi 2,4, dan 6 persen sesuai dengan jangka waktu keikutsertaan dalam pengampunan. Pembedaan ini juga tidak adil dan dapat mendistorsi kepatuhan, karena tak membedakan wajib pajak yang sudah terdaftar dan patuh dengan wajib pajak baru.

4.       Tak ada skema repatriasi yang memastikan dana yang ditarik dan dimintakan pengampunan harus ditempatkan dalam perbankan nasional atau instrument investasi yang ditentukan pemerintah. Soekarno dan Soeharto bahkan mewajibkan hal ini. Tanpa skema ini, janji repatriasi dana dapat berujung pada pepesan kosong.

5.       Belum ada peta jalan reformasi perpajakan yang menyeluruh. Di dalamnya termasuk penguatan kelembagaan Ditjen Pajak menjadi otoritas yang kredibel dan professional, akses fiskus ke sistem keuangan dan perbankan melalui revisi Undang-Undang Perbankan, implementasi Single Identification Number, serta administrasi pasca-pengampunan yang menjamin kepatuhan dan penerimaan pajak akan naik signifikan.

Sumber : TEMPO

Direktorat Jendral Pajak bkpm

Related Articles