PER - 42/PJ/2015

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 42/PJ/2015
TENTANG
  TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa ketentuan mengenai pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan telah diatur dalam 
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2011 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan 
Sektor Perhutanan;
b. bahwa untuk memberikan pedoman pelaksanaan, meningkatkan pelayanan kepada subjek pajak dan 
Wajib Pajak, serta memberikan kepastian hukum, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan 
mengenai tata cara pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan 
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor 
Perhutanan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312), 
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek 
Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;
      MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN 
SEKTOR PERHUTANAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
1. Pengenaan adalah kegiatan menetapkan Wajib Pajak dan besarnya pajak terutang untuk Pajak Bumi 
dan Bangunan sektor perhutanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak Bumi 
dan Bangunan.
2. Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, yang selanjutnya disebut PBB Perhutanan, adalah Pajak 
Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang 
digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan.
3. Penatausahaan objek pajak adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pendaftaran dan 
pengadministrasian objek pajak, penilaian, perhitungan Nilai Jual Objek Pajak, penetapan, dan 
penagihan.
4. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
5. Hutan Tanaman adalah Hutan Produksi yang dibangun dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan 
berupa penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan atau 
penebangan, dan pemasaran hasil hutan.
6. Hutan Alam adalah Hutan Produksi yang didalamnya telah bertumbuhan pohon-pohon alami dan 
dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa pemanenan atau penebangan, pengayaan, 
pemeliharaan, dan pemasaran hasil hutan.
7. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE 
adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi 
yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui 
kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, 
pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora, dan fauna untuk mengembalikan 
unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur nonhayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan 
kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
8. Areal Produktif adalah areal yang telah ditanami pada Hutan Tanaman, areal blok tebangan pada Hutan 
Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu, dan areal blok pemanenan pada Hutan 
Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu.
9. Areal Belum Produktif adalah areal yang belum ditanami berupa areal yang belum diolah dan/atau areal 
yang sudah diolah pada Hutan Tanaman, areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan 
Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu, dan areal yang dapat dipanen selain blok 
pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu.
10. Areal Tidak Produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha 
perhutanan yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perhutanan, antara lain berupa sungai, 
zona penyangga (buffer zone), kawasan perlindungan setempat, areal hutan IUPHHK-RE yang belum 
tercapai keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, areal hutan 
yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest), serta areal 
yang diduduki oleh pihak ketiga secara tidak sah.
11. Areal Pengaman adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha 
perhutanan yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perhutanan, antara 
lain berupa log ponds, log yards, tempat pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit dan tanggul.
12. Areal Emplasemen adalah areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan dan/atau pekarangan 
serta fasilitas penunjangnya.
13. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari 
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP 
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau 
NJOP Pengganti.
14. Standar Investasi Tanaman yang selanjutnya disingkat SIT adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan 
dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
15. Angka Kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi pendapatan bersih 
setahun menjadi nilai bumi Areal Produktif pada Hutan Alam.
16. Biaya Produksi adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan kegiatan produksi hasil hutan, 
sampai di log ponds/log yards untuk hasil hutan kayu dan/atau sampai tempat pengumpulan hasil panen 
untuk hasil hutan bukan kayu pada Hutan Alam.
17. Rasio Biaya Produksi adalah persentase tertentu yang diperoleh dari rata-rata Biaya Produksi setahun 
dibandingkan dengan rata-rata pendapatan kotor setahun.
18. Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB Perhutanan yang selanjutnya disebut SPOP adalah surat yang 
digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak PBB Perhutanan 
ke Direktorat Jenderal Pajak.
19. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB Perhutanan yang selanjutnya disebut LSPOP adalah 
formulir yang digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci objek pajak 
PBB Perhutanan.
20. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh 
Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB Perhutanan yang terutang kepada 
Wajib Pajak.
Pasal 2
(1) Objek pajak PBB Perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang 
digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan.
(2) Kegiatan usaha perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan usaha perhutanan 
yang diberikan:
a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu termasuk IUPHHK-RE;
b. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu;
c. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu;
d. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu;
e. Hak Pengusahaan Hutan;
f. Hak Pemungutan Hasil Hutan; atau
g. Izin lainnya yang sah, antara lain berupa penugasan khusus terkait dengan usaha pemanfaatan 
dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi.
Pasal 3
(1) Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), meliputi:
a. areal yang dikenakan PBB Perhutanan, berupa:
1) Areal Produktif,meliputi:
a) areal yang ditanami pada Hutan Tanaman;
b) areal blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan 
hasil hutan kayu; dan
c) areal blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan 
hasil hutan bukan kayu;
2) Areal Belum Produktif, meliputi:
a) areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau sudah diolah 
pada Hutan Tanaman;
b) areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin 
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu;dan
c) areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin 
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu;
3) Areal Tidak Produktif;
4) Areal Pengaman; dan/atau
5) Areal Emplasemen;
b. areal yang tidak dikenakan PBB Perhutanan, berupa Areal Lainnya, yaitu areal yang berada 
di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang tidak dikenakan PBB 
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak 
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
(2) Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan konstruksi teknik yang ditanam 
atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Pasal 4
(1) Subjek pajak PBB Perhutanan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak 
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh 
manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Perhutanan.
(2) Wajib Pajak PBB Perhutanan adalah subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai 
kewajiban membayar PBB Perhutanan.
Pasal 5
(1) Subjek pajak melakukan pendaftaran objek pajak PBB Perhutanan atau Wajib Pajak melakukan 
pemutakhiran data objek pajak PBB Perhutanan dengan cara mengisi SPOP dan LSPOP, dengan jelas, 
benar, dan lengkap, serta dilampiri dokumen pendukung antara lain berupa rencana kerja usaha, 
rencana kerja tahunan dan peta areal kerja.
(2) LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP.
(3) Bentuk formulir untuk:
a. SPOP, menggunakan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur 
Jenderal ini; dan
b. LSPOP, menggunakan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur 
Jenderal ini, 
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 6
Penatausahaan objek pajak PBB Perhutanan dilakukan oleh:
a. Kantor Pelayanan Pajak Pratama berdasarkan wilayah kabupaten/kota, yang wilayah kerjanya meliputi 
letak objek pajak; atau
b. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang ditunjuk dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari satu 
wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam satu kabupaten/kota.
Pasal 7
(1) Besarnya PBB Perhutanan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual 
Kena Pajak.
(2) Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persentase tertentu dari NJOP 
yang besarnya ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penetapan 
besarnya Nilai Jual Kena Pajak.
(3) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP 
bangunan.
Pasal 8
(1) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) merupakan hasil perkalian antara total luas 
areal objek pajak yang dikenakan PBB Perhutanan dengan NJOP bumi per meter persegi.
(2) NJOP bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil konversi nilai 
bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan 
Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bumi.
(3) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil pembagian antara 
total nilai bumi dengan total luas areal objek pajak yang dikenakan PBB Perhutanan.
(4) Total nilai bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah dari perkalian luas 
masing-masing areal objek pajak yang dikenakan PBB Perhutanan dengan nilai bumi per meter persegi 
masing-masing areal objek pajak dimaksud.
(5) Nilai bumi per meter persegi untuk masing-masing areal objek pajak sebagaimana dimaksud pada 
ayat (4) berupa:
a. Areal Produktif ditentukan melalui hasil pembagian antara nilai bumi Areal Produktif dengan luas 
Areal Produktif;
b. Areal Belum Produktif ditentukan melalui perbandingan harga tanah yang ada di sekitarnya;
c. Areal Emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah yang ada di sekitarnya;
d. Areal Pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi Areal 
Belum Produktif.
e. Areal Tidak Produktif ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(6) Nilai bumi Areal Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a untuk Hutan Alam merupakan 
hasil perkalian pendapatan bersih setahun dengan Angka Kapitalisasi.
(7) Pendapatan bersih setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditentukan sebesar pendapatan kotor 
setahun dikurangi Biaya Produksi setahun, sebelum tahun pajak.
(8) Pendapatan kotor setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diperoleh dari jumlah produksi hasil 
hutan kayu dan/atau bukan kayu setahun, dikalikan dengan harga jual rata-rata hasil hutan dalam 
setahun sebelum tahun pajak.
(9) Harga jual rata-rata hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan harga jual rata-rata 
hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu yang terjadi secara wajar.
(10) Biaya Produksi setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan sebesar Rasio Biaya Produksi 
dikalikan pendapatan kotor setahun.
(11) Nilai bumi Areal Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a untuk Hutan Tanaman 
ditentukan melalui penyesuaian nilai bumi per meter persegi areal belum produktif dikalikan luas areal, 
produktif kemudian ditambah dengan SIT.
Pasal 9
(1) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) merupakan hasil perkalian antara total 
luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi.
(2) NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil konversi nilai 
bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam 
Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bangunan.
(3) Nilai bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil pembagian 
antara total nilai bangunan dengan total luas bangunan.
(4) Total nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah nilai bangunan 
masing-masing bangunan.
(5) Nilai bangunan untuk masing-masing bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan 
sebesar biaya pembangunan baru dikurangi penyusutan.
Pasal 10
Jumlah produksi hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada Hutan Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 
ayat (8) dihitung dari hasil produksi bulan Januari sampai dengan bulan Desember pada tahun sebelum tahun 
pajak.
Pasal 11
(1) Besarnya SIT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (11) ditetapkan setiap tahun oleh Kepala 
Kantor Wilayah DJP sesuai dengan wilayah kerjanya.
(2) Angka Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) dan Rasio Biaya Produksi dalam 
Pasal 8 ayat (10) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 12
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 menetapkan besarnya 
pajak terutang atas PBB Perhutanan dengan menerbitkan SPPT.
(2) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat minggu 
ke-2 bulan Juni tahun pajak.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 
PER-36/PJ/2011 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan, dicabut dan dinyatakan tidak 
berlaku.
Pasal 14
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2015
Plt.DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
KEN DWIJUGIASTEADI

Direktorat Jendral Pajak bkpm

Related Articles