KONSEP DAN TERMINOLOGI PMSE (E-COMMERCE) DAN DASAR HUKUM PERPAJAKANNYA

KUPASAN SINGKAT BISNIS PMSE DAN ASPEK PERPAJAKANNYA

  • Melihat perkembangan dunia saat ini dimana kemajuan teknologi telah mempengaruhi setiap aspek sisi kehidupan.
  • Tidak terlepas dalam hal aspek bisnis, yang dimana pola kegiatan berbisnis sebagian besar telah berubah dan bertumpu oleh teknologi, mengapa? karena dapat dipahami kehadiran teknologi sendiri memberikan dampak kemudahan yang sangat signifikan terhadap praktek bisnis yang dijalankan.
  • Saat ini, keberadaan internet yang adalah salah satu unsur dari teknologi tersebut juga menjadi hal yang penting dalam kegiatan bisnis. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau transaksi jual beli melalui internet (online) yang biasa dikenal dengan istilah e-Commerce atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat menjadi PMSE.
  • Mode bisnis PMSE atau e-Commerce dirasa lebih bermanfaat oleh para pelaku usaha tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan dan menurunkan biaya tetapi juga memperluas pangsa pasar dengan akses yang mudah.
  • Dengan melihat pesatnya pertumbuhan perekonomian melalui PMSE (e-Commerce) ini jelas menunjukan bahwa penting untuk kita mempelajari model bisnis melalui sarana elektronik ini.
  • Dalam bisnis e-commerce, terdapat beberapa jenis model bisnis, yaitu :

• B2B (Business-to-business)
• B2C (Business-to-consumer), dan
• C2C (Consumer-to-consumer)

  • Berikut juga bermacam ragam kegiatannya yang ada dalam bisnis E-commerce, seperti:

• Online marketplace
• Classified ads
• Daily deals
• Online retail

  • Presiden kita bapak Jokowi telah membuat peta jalan bisnis PMSE (roadmap e-Commerce) sebagaimana telah diatur di Perpres No. 74 Tahun 2017, guna bangsa Indonesia tidak mengalami ketertinggalan dengan kondisi global yang ada, karna saat ini Indonesia memiliki potensi dan prospek yang sangat menjanjikan untuk pengembangan dari bisnis PMSE (e-commerce) ini.
  • Oleh karena itu pada kesempatan ini kami akan menguraikan sedikit pemahaman terkait PMSE (e-commerce) menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia saat ini, diantara lain:
  1. Definisi PMSE menurut UU No. 7 Tahun 2014 tepatnya pada bab I pasal 1 angka 24 yang diuraikan kembali pada PP No. 80 Tahun 2019 adalah “perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik”,
  2. Lalu, definisi PMSE menurut Perppu 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 dijelaskan pada pasal 4 ayat (2) bahwa PMSE “merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.”
  • Mengutip informasi dari artikel yang diterbitkan pada kolom website idEA (asosiasi dari e-commerce Indonesia) disampaikan bahwa:
  1. Selama kurun waktu 4 tahun terakhir, e-commerce di Indonesia mengalami peningkatan hingga 500%. Riset terbaru Google dan Temasek dalam laporan e-Conomy SEA 2018 menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia tahun ini mencapai US$27 miliar atau sekitar Rp 391 triliun. Angka tersebut menjadikan transaksi ekonomi digital Indonesia berada di peringkat pertama untuk kawasan Asia Tenggara dengan kontribusi sebesar 49%.
  2. Bahkan diprediksi jumlahnya akan terus naik ditahun-tahun yang akan datang, mengingat Indonesia sendiri adalah salah satu negara dengan penduduk yang memiliki kesadaran cukup tinggi dalam hal perkembangan digital.
  3. Lebih lanjut, jika melihat perkembangan e-commerce tersebut, maka jelas akan sangat membantu peningkatan roda perekonomian di Indonesia.
  • Sebagaimana kita ketahui, dalam aspek bisnis erat kaitannya dengan perpajakan. Maka dari itu, penting juga untuk kita memahami bagaimana pajak menyikapi fenomena bisnis PMSE (e-commerce) ini.
  • Pada awalnya ketentuan perpajakan dalam bisnis e-commerce (PMSE) telah diberikan penegasan terkait ketentuan perpajakannya yaitu pada SE-62 Tahun 2013 dimana prinsip perlakuan perpajakannya tidak ada perbedaan baik dalam hal bisnis e-commerce (PMSE) maupun dalam hal bisnis konvensional seperti yang diuraikan pada bagian A. UMUM dalam SE-62 Tahun 2013.
  • Dan belakangan ini, Pemerintah dengan DPR mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, sebagai bentuk respon dari keadaan kahar adanya pandemi COVID-19, secara khusus di bidang perpajakan yaitu memberikan kejelasan akan ketentuan perpajakan terhadap bisnis PMSE (e-commerce) yang belum ter-cakup dalam UU perpajakan yang ada sebelumnya.
  • Secara garis besar, esensi ketentuan terkait PMSE dalam Perppu 1 Tahun 2020, terdapat 3 poin penting yang disampaikan:
  1. Yang pertama, memastikan azas keadilan, seperti yang sering didengungkan oleh pihak otoritas bahwa penting adanya perlakuan kesetaraan dalam hal perpajakan antara pelaku usaha PMSE dengan pelaku usaha konvensional. Atau istilah yang sering kita dengar “same-level playing field”.
  2. Yang kedua, memperluas makna BUT atau permanent establishment yang sebelumnya dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (5) berupa memiliki tempat kedudukan atau cabang atau kantor perwakilan dari BUT tersebut diperluas dengan adanya kehadiran ekonomi signifikan, atau dengan kata lain sebelumnya fokus pada physical presence saat ini diperluas dengan adanya economic presence sesuai dengan Pasal 6 Ayat (6) Perppu 1 Tahun 2020, yang sekarang telah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020.
  3. Dan yang ketiga, akan hal Pajak Penghasilan (PPh) apabila dalam hal penetapan perluasan makna dari BUT, sebagaimana yang telah saya uraikan pada poin kedua sebelumnya tidak dapat dilakukan karena adanya penerapan P3B atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan pemerintah lain, maka pengenaan pajaknya dapat dilakukan dengan Pajak Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada bunyi pasal 6 ayat (8) Perppu No. 1 Tahun 2020. Akan tetapi, menyunting wawancara terakhir Bapak Suryo Utomo, selaku Dirjen Pajak dengan Bapak Nufransa Wira Sakti selaku staf ahli di bidang pengawasan pajak, bahwa hal tersebut masih menjadi pembahasan daripada negara-negara yang tergabung dalam G-20, yang dimana Indonesia menjadi salah satu bagiannya. Dan negara-negara yang tergabung, saat ini sepakat untuk berkolaborasi dengan OECD, untuk merumuskan global framework terkait digital economy sehingga memberikan solusi berkenaan pembagian hak pemajakan antara negara produsen (dimana kedudukan perusahaan itu berada) dengan negara konsumen (sumber penghasilan itu berasal).
  • Implementasi dari Perppu 1 Tahun 2020 yang kini telah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020, Pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan) menerbitkan beleid baru yaitu PMK 48 Tahun 2020 tentang:

•  “Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik”
•  Yang mulai berlaku 01 Juli 2020.

  • Jadi, bisa dikatakan perusahaan digital yang sering kita dengar seperti Google, Netflix, Spotify, Amazon kelak akan ditunjuk sebagai pemungut PPN, sehingga setiap barang / jasa yang diperjualbelikan melalui platform tersebut akan dipungut PPN. Dengan syarat, perusahaan digital tersebut harus memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) PMK 48 Tahun 2020.

Direktorat Jendral Pajak bkpm

Related Articles